Di sebuah kampung, daerah terpencil di Jawa Timur, sebuah pesantren kecil mengalirkan ilmu dengan derasnya. Laksana sumber air di tengah padang pasir yang luas. Jika di lihat dari kejauhan, setiap tetesannya memancarkan kejernihan yang luar biasa. Dasar-dasar sumber terlihat bening menerawang bebatuan di dalamnya. Di bentengi kuat dengan bebatuan besar yang kuat dan halus. Sebuah batu mozaik berdiri kokoh di tengah memberikan siluet indah saat terkena pancaran mentari. Batu itulah mahkota yang paling utama di sorot oleh pandangan mata. Begitu anggun dan indah.
Tentram dan damai bagi orang yang melihat. Itulah keindahan nyata yang di cerminkan oleh sebuah pesantren yang benama Fadllillah. Derasnya sumber air seperti derasnya ilmu yang memberi kehidupan di tempat itu. Bebatuan kecil yang terlihat jelas di dalam mengisyaratkan akan gemerlapan dzikir dan pengajian telah mendarah daging dan menjadi jantung pesantren. Begitu pun dengan peraturan dan kedisiplinan yang kuat selalu membentengi para santri dari terpaan bahaya luar. Begitu kuat dan kokoh sehingga tak ada yang bisa merobohkan. Dan mahkota utama yang di tunjukkan kepada sebuah batu yang indah, cerminan dari bahasa keseharian. Masyarakat sekitar selain mengenal psantren dengan kuat ibadahnya, mereka juga mengenal pesantren dari segi bahasa. Bahasa keseharian para santri. Arab dan Inggris. Bahkan tak sedikit orang yang di luar kota bahkan di luar pulau yang menyantrikan anak mereka karna mahkotanya. Al-lughotu ta’jul-ma’had.
Tentram dan damai bagi orang yang melihat. Itulah keindahan nyata yang di cerminkan oleh sebuah pesantren yang benama Fadllillah. Derasnya sumber air seperti derasnya ilmu yang memberi kehidupan di tempat itu. Bebatuan kecil yang terlihat jelas di dalam mengisyaratkan akan gemerlapan dzikir dan pengajian telah mendarah daging dan menjadi jantung pesantren. Begitu pun dengan peraturan dan kedisiplinan yang kuat selalu membentengi para santri dari terpaan bahaya luar. Begitu kuat dan kokoh sehingga tak ada yang bisa merobohkan. Dan mahkota utama yang di tunjukkan kepada sebuah batu yang indah, cerminan dari bahasa keseharian. Masyarakat sekitar selain mengenal psantren dengan kuat ibadahnya, mereka juga mengenal pesantren dari segi bahasa. Bahasa keseharian para santri. Arab dan Inggris. Bahkan tak sedikit orang yang di luar kota bahkan di luar pulau yang menyantrikan anak mereka karna mahkotanya. Al-lughotu ta’jul-ma’had.
Pesantren Fadllillah yang terletak di kampong tambak sumur tetap dalam hembusan kedamaiannya yang tentram, kampong yang tak pernah kutemui di mana-mana, penuh dengan luapan dzikir dan begitu damai jika memasukinya meski di hari yang begitu panas. Suasana yang begitu aman dan tentram. Merindukan kepada setiap orang yang pernah pergi kesana. Hawa yang sejuk masih bisa kurasakan meski kini aku telah jauh bermil-mil dari tempat itu. Kampong dan pesantrennya. Setidaknya itulah yang selama ini aku rasakan ketika hidup di dalamnya. Semua itu kini aku rindukan. Udara yang selama enam tahun kuhirup kini aku tinggalkan. Suasana yang dulu aku kesali kini kurindukan. Betapa aku rindu tempat itu. Berlarian bersama dari kamar menuju sekolah, antri mandi dan wudlu dengan perasaan takut akan hukuman, dan bersama teman-teman menghadapi setiap masalah. Mengingat jauh dari orang tua membuat kita semakin saling memiliki dan menyayangi. Teman yang bisa merasakan lapar, marah, dan kecewa bersama. Dari kita membuka mata sampai menutup mata lagi yang ada hanya teman. Dimana pun kita berada slalu bersama teman. Senang, susah, sedih kita lewati bersama. Tak ada hari tanpa teman. Dan sekarang, kita di lepas berjauhan satu sama lain dalam waktu selamanya. Yang selama ini kemana pun bersama kini harus sendiri. Rasanya begitu sepi dan ingin sekali menangis, mengingat kenangan yang indah. Tidur, makan, dan belajar yang biasa di lakukan bersama kini di tuntut untuk mandiri. Teriris rasanya jika masih terngiang suara tawa mereka dan canda-canda yang diucapkan. Bahkan bodohnya aku yang masih merasa diriku santri dan mendambakan kembali saat liburan telah usai. Dan sekarang…. Apa yang mereka lakukan di rumah mereka masing-masing? Lucu sekali saat mengingat detik-detik terakhir kelulusan, kami selalu menghitung hari. Dengan gelak tawa yang renyah kami berkata, “kurang dua puluh hari lagi… ayo rek, lama sekali!!!” sekarang… ingin rasanya mengulang hari-hari itu lagi. Kami melakukan jogging pagi pagi bersama, masak bersama, kumpul bersama dengan embel-embel hari terakhir yang tak mungkin terulang lagi. Begitu kami menggampangkan arti perpisahan. Sulit memang jika harus mengingatnya dan menulisnya kembali. Harus menghapus air mata yang mengucur setiap menitnya. Tapi, itulah yang aku inginkan. Aku ingin masih bisa merasakan mempunyai kenangan indah yang seperti itu.
Saat itu, suara adzan terdengar merdu menyambut sang subuh. Menggetarkan hati bagi setiap yang mendengar. Menundukkan segala keangkuhan dan mengembalikan mereka kepada sang Kholik yang maha Pencipta. Berbondong-bondong para santri terbangun di karenakan Qismul Amni dan Qismut Ta’lim yang sedang berkeliling dengan sajadah di tangan selalu siap memberi pukulan bagi santri yang tak mau berkutik dari mimpi indahnya. Mendadak kamar mandi dan deretan kran wudlu ramai seketika. Antrian panjang membuat para santri meneruskan tidurnya sambil bersandar berdiri di depan meski hanya sebentar. Bacaan Aqidatul Awwam melanin merdu dan hampir selesai. Membuat para santri tergopoh-gopoh dan saling mengtuk pintu khamam. Banyak yang berlarian menuju Musollah berharap tidak terkena pukulan maut Qismul Amni. Tapi terlambat, puji-pujian telah selesai. Di lanjutkan dengan pengabsenan yang dilakukan Qismut-Ta’lim. Terdengar bunyi pukulan dari luar Musollah, Qismul Amni sedang memukul para santri yang terlambat dengan sajadah ‘mautnya’. Tak lama kemudian, iqomat di kumandangkan dan sholat subuh di tegakkan. Aktifitas santri saat selesai sholat sama persis dengan hari-hari sebelumnya. Para santri di wajibkan mengikuti kegiatan rutin di tengah lapangan. Yakni bermuhadatsah dan menerima beberapa mutarodifat untuk bahasa keseharian.
Apakah kalian masih ingat dengan rutinas selama enam tahun itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar