Selamat datang

Patterned Text Generator at TextSpace.net

Welcome. . . .

Selamat datang di blognya orang cantik. . . . .
Nama asli cewek blesteran ngawi rungkut ini adalah Liyyatun Ni'mah. Anak dari H. Moch. Simun dan Hj. Laila Muchlidah. Kuliah di UIN Sunan Ampel Surabaya Fakultas Tarbiyah dan keguruan Prodi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah. Dia punya kebiasaan nulis dan baca buku. Ngakunya sih… dia ini tipe cewek campuran antara manis, cantik dan imut. Suka yang namanya cecek lodeh dan eseng-eseng rempelo ati. Sifatnya gokil dan suka rame, baik hati dan tidak sombong. Ni anak suka banget yang namanya cireng, pentol dan krupuk. Nyanyi ngawur andalannya. Ngefans banget ma Sule dan fitri tropika. Animasi favoritnya adalah Inuyasha.

So Nyu Shi Dae

So Nyu Shi Dae

Translate

Selasa, 23 September 2014

Cinta Ngga Niat - cerpen


“Pokoknya Ra, Dimas itu cintanya nggak niat sama aku.” Suara Mbak Santi yang baru datang mengagetkanku yang tengah merapikan tempat tidur. Sudah sejak dua hari yang lalu, Mbak Santi menelponku dan dari nada suaranya ia terdengar uring-uringan. Dia tidak mau bercerita di telepon, maka aku mengundangnya menginap di kosku. Walaupun kami bersaudara dan tinggal satu kota kami tidak tinggal satu tempat karena tempat kerja kami saling berjauhan. Mbak Santi menaruh, atau lebih tepatnya, membanting koran yang dibawanya ke meja di sampingku, kemudian ia duduk di pinggiran tempat tidur dan menyisir rambutnya.

“Sabar Mbak, masalahnya sebenarnya apa?” tanyaku hati-hati.
“Masalahnya ya Dimas itu. Dimas selalu bilang cinta sama aku. Tapi aku sekarang tahu. Cintanya itu nggak niat.”
Nggak niatnya kayak apa Mbak?”
“Pokoknya nggak niat, Ra!” Suara Mbak Santi semakin meninggi ketika melanjutkan, “Misalnya dua hari yang lalu, aku kan ulang tahun. Dimas lupa. Dia nggak ngucapin sampai akhirnya aku telpon ngingetin dia.”
“Mungkin Mas Dimas lupa, Mbak.”
“Bukan lupa, dia itu memang nggak niat ingat ulang tahunku. Tiga hari sebelumnya aku sudah bilang kalau tanggal dua tujuh aku ulang tahun, dan aku mau dia jadi orang pertama yang mengucapkan selamat. Dan aku sudah berkali-kali bilang supaya dia tulis di reminder HP-nya karena aku tahu dia sering lupa. Eh ditulis aja nggak. Nggak niat kan? Seharusnya, kalau dia niat mau mengingat ulang tahunku, dia tulis di reminder HPnya, di dinding kamarnya, di meja kerjanya, dimana-mana! Biar ingat. Kan aku nggak minta sesuatu yang berlebih, Ra, aku cuma minta dia ingat ulang tahunku. Itu aja dia nggak niat. Aku kan jengkel Ra!”
Aku mengangguk-angguk, tidak tahu harus menanggapi apa. Mbak Santi mengambil minum, meredakan emosinya. Pandanganku tertumbuk pada koran yang tergeletak di meja di sampingku. ‘Separator Busway Memakan Korban’, judulnya. Tanganku sedang meraih koran itu ketika Mbak Santi membentakku, “Kamu apa-apan sih Ra?! Kok malah baca koran? Jangan-jangan kamu juga nggak niat ndengerin ceritaku. Kamu sama Dimas sama aja. Sama nggak niatnya! Kalau kamu niat ndengerin aku, harusnya kamu ndengerin aku selesai cerita, bukan malah baca koran!”
Waduh! Mbak Santi ternyata dalam emosi tinggi. Cuma mau baca koran aja kok ya dimarahi.
“Bukan begitu, Mbak. Tadi aku nggak sengaja lihat judulnya, sepertinya menarik, jadi mau kubaca. Kan Mbak Santi juga yang bilang aku harus baca-baca koran untuk nambah wawasan,” jelasku sambil mencoba merayunya agar tidak marah.
Mbak Santi masih memasang muka marah, merebut koran yang berada di tanganku, membacanya sebentar dan.. ups.. uring-uringan lagi.
“Nah ini! Ini juga contoh orang nggak niat. Yang ngurusin konstruksi busway ini juga pasti orangnya nggak niat. Kayak Dimas itu! Kan sudah lama separator itu membahayakan pengguna jalan, kok ya nggak cepat tanggap, dikasih tanda atau bagaimana, eh malah dibiarin aja. Memang dasar nggak niat melayani masyarakat.”
Aku diam mendengarkan. Tak berani menanggapi. Mbak Santi meneguk air minumnya. Tapi sayangnya, air tidak meredakan amarahnya. Ia berjalan menuju rak buku, mengambil amplop lamaran CPNS-ku dan memandangku tajam.
“Kamu mau jadi PNS, Ra?!”
“Hmmm iya Mbak, sekedar mencoba, siapa tahu diterima.”
“Kamu tahu kan Ra?! Sebagian besar PNS kerjanya nggak niat. Ya kayak Dimas itu nggak niatnya! Kerja datangnya terlambat, dikasih libur eh dipanjang-panjangin, di kantor kerjanya main game di komputer. Kerja macam apa itu? Emang nggak niat kerja! Gimana bangsa ini mau maju kalau kerja aja nggak niat?”
Mbak Santi meneguk minumannya lagi. Agar masalahnya tidak merembet kemana-mana, terutama seputar usahaku melamar CPNS, aku mencoba mengembalikan ke topik semula.
“Tapi Mas Dimas sudah minta maaf kan Mbak?”
“Sudah. Dan sebetulnya aku juga sudah memaafkan, tapi karena masalah tadi, aku jadi marah lagi.”
“Masalah tadi? Masalah apa Mbak?”
“Ya Dimas nggak niat itu. Kemarin dia nawarin mau jemput aku hari ini sepulang kerja. Yah, aku pikir ini salah satu usahanya meminta maaf dan berusaha lebih niat sayang sama aku. Tapi kok malah..”
“Malah apa Mbak?”
“Dia kan tahu jam kantorku selesai jam 3. Dan aku biasa membereskan macam-macam sampai pukul 3.10. Eh pas aku ke parkiran sekitar pukul 3,15 dia nggak ada. Terus aku telpon, eh dia sudah di rumahnya, dan bilang, ‘Tadi aku sudah nunggu tapi kamu nggak datang-datang, jadi aku langsung pulang, kupikir kamu sudah pulang.’ Coba Ra! cuma nunggu sebentar dan langsung pulang. Apa aku nggak jengkel Ra?! Kalau dia niat kan, dia bisa telpon aku, nanya aku dimana kek atau bilang ‘cepat, aku sudah di parkiran’ eh malah langsung pulang, dan nggak ngasih kabar. Itu kan namanya nggak niat!”
“Mungkin Mas Dimas habis pulsa Mbak.”
“Kamu kok malah membela Dimas sih? Nggak mungkin pulsanya habis, nomornya Dimas itu pascabayar!”
Ups..salah lagi, aku mencoba memperbaiki keadaan, “Terus Mas Dimas kasih alasan apa dia langsung pulang?”
“Ya alasannya karena dia pikir aku sudah pulang. Terus karena jengkel aku matikan HPnya sampai sekarang.”
“Sampai sekarang? Berarti Mas Dimas nggak bisa menghubungi Mbak?”
“Iya. Lagipula kan dia cintanya nggak niat sama aku. Jadi dia pasti tidak akan menghubungi aku. Atau, paling menghubungi sekali saja, sebagai usaha alakadarnya, dan berkata. ‘aku sudah mencoba menghubungi kamu tapi nomornya tidak aktif’. Usaha apa itu?! Usaha nggak niat.”
Aku diam lagi, takut salah menanggapi. Salah ngomong, bisa-bisa aku dimaki-maki. Baru saja berpikir demikian, Mbak Santi sudah membentakku lagi, “Kamu kok cuma diem sih Ra?! Kamu memang nggak niat ndengerin aku ya???!!”
“Niat kok Mbak,” bantahku cepat-cepat.
Halah! Kalau kamu niat, kamu akan kasih tanggapan, bukannya diam. Diam itu tanda kamu tidak memperhatikan!”
Walah..walah… ngomong salah, diam juga salah.
“Mbak, kenapa nomornya tidak diaktifkan? Siapa tahu Mas Dimas sudah berusaha menghubungi Mbak tapi nggak bisa-bisa.
Nggak mungkin! Dimas itu kan nggak niat.”
Aku berpikir sebentar, mataku tertumbuk pada gantungan kunci berbentuk candi Borobudur. Dan aku mendapat akal untuk mengalihkan perhatian Mbak Santi dari emosi yang meledak-ledak ini.
“Eh Mbak, besok menyegarkan pikiran yuk, ke Borobudur. Tiap liburan ke Yogya waktu kita masih kecil kan Mbak Santi paling senang kalau ke Borobudur. Kesana ya Mbak? Sekalian mendukung Visit Indonesia 2008..” kataku bersemangat.
Ah kamu itu! Mencoba mengalihkan perhatianku ya? Visit Indonesia 2008 itu juga contoh program nggak niat! Aaaaaahhh semuanya nggak niat! Kamu tahu slogan Visit Indonesia 2008? Itu kan nggak berhubungan dengan pariwisata! Terus, kalau mau nyuruh orang datang ke sini kok ya nggak ada usaha menciptakan sarana yang lebih baik, biar turis-turis merasa nyaman. Kemarin aja Jakarta banjir. Masak iya turis-turis disuruh bawa baju renang untuk mendarat di Jakarta? Lagian Visit Indonesia tahun 2008, promosinya baru sekarang. Kalau niat tuh, harusnya promosinya sudah dari dulu-dulu. Usaha-usaha mendukung sektor pariwisata juga harus dilakukan dari dulu-dulu, jadi, tahun ini, semua sudah siap menyambut turis. Ini malah terlihat kayak proyek terburu-buru, asal jadi. Ya itu tadi. proyek nggak niat! Kayak Dimas itu! Nggak niat!”
Waduh! Kok jadi begini.. Semuanya bisa dikait-kaitkan dengan ‘nggak niat’. Padahal sebenarnya tadi cuma membicarakan satu orang yang tidak niat.
“Ra! Jadi menurut kamu aku harus bagaimana sekarang?”
Aku berpikir keras bagaimana menjawabnya agar tidak semakin merunyamkan keadaan. Tiba-tiba sesuatu muncul di otakku.
“Mbak Santi cinta nggak sama Mas Dimas?”
Mbak Santi menarik nafas dan menjawab, “hmmmm iya.”
“Cintanya Mbak Santi niat nggak?”
Mbak Santi terdiam agak lama dan menjawab, “Niat.”
“Kalau cintanya Mbak Santi sama Mas Dimas benar-benar niat, Mbak bicarain aja masalah ini sama Mas Dimas dengan baik-baik, dicari jalan keluarnya. Mungkin Mas Dimas tidak bermaksud membuat Mbak jengkel.”
“Iya ya, Ra..” Nada suara Mbak Santi mulai terdengar pelan. Tanpa emosi.
“Mbak coba aja aktifkan nomor Mbak, terus menghubungi Mas Dimas.”
Mbak Santi mengangguk-angguk. “Makasih ya Ra, maaf tadi aku sempet membentak kamu juga. Tadi aku emosi.”
Aku mengangguk. Mbak Santi bergegas membongkar tasnya. Mencari HP. Aku menarik nafas lega. Banyak hal yang terlintas di pikiranku. Mungkin kata-kata Mbak Santi saat di puncak emosi tadi, ada benarnya juga. Pengerjaan konstruksi busway nggak niat? Benar juga. Sebagian PNS kerjanya nggak niat? Benar juga. Visit Indonesia 2008 nggak niat? Mungkin iya juga. Dimas cintanya nggak niat? Mungkin benar juga. Aku jadi berpikir, kadang-kadang aku juga nggak niat dalam mengerjakan sesuatu. Kok banyak ya, sesuatu yang nggak niat? Atau mungkinkah karena kita memang bangsa yang nggak niat? Dan karena itu kita nggak maju-maju? Ah, mungkin hanya perasaanku saja.

2 komentar: