Selamat datang

Patterned Text Generator at TextSpace.net

Welcome. . . .

Selamat datang di blognya orang cantik. . . . .
Nama asli cewek blesteran ngawi rungkut ini adalah Liyyatun Ni'mah. Anak dari H. Moch. Simun dan Hj. Laila Muchlidah. Kuliah di UIN Sunan Ampel Surabaya Fakultas Tarbiyah dan keguruan Prodi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah. Dia punya kebiasaan nulis dan baca buku. Ngakunya sih… dia ini tipe cewek campuran antara manis, cantik dan imut. Suka yang namanya cecek lodeh dan eseng-eseng rempelo ati. Sifatnya gokil dan suka rame, baik hati dan tidak sombong. Ni anak suka banget yang namanya cireng, pentol dan krupuk. Nyanyi ngawur andalannya. Ngefans banget ma Sule dan fitri tropika. Animasi favoritnya adalah Inuyasha.

So Nyu Shi Dae

So Nyu Shi Dae

Translate

Kamis, 06 November 2014

Sekadar Cerpen Bersambung Kilas Balik Masa Lalu


Suasana sekolah dasar Al-Faruq masih sepi saat Aya memasuki kelasnya. Hanya dirinya yang sudah datang. Dia meletakkan tas dan menuju ke kelas sebelah. Khusnul baru saja meletakkan tas ke loker. “Apa kita tidak terlalu cepat datang?” Tanya Khusnul melihat jam dinding yang tertempel di dinding. “Kurasa ya. Tapi bukankah kita selalu berangkat jam segini?” kata Aya sambil mencoreti papan tulis.
“Lihat jam! Baru pukul enam. Kalau begini jadinya kenapa sampean menggupuhiku tadi? Anak-anak belum berangkat juga, apalagi sekolah masih gelap begini.” “Ah… ayo andok soto di belakang, aku teraktir deh!” Aya menyeret Khusnul agar tidak menggerutu panjang. Khusnul sepupu Aya. Dia termasuk anak yang manut. Tak heran dia selalu dikadali oleh Aya. Gadis yang selalu qonaah dan tidak aneh-aneh, selalu menerima apa adanya meskipun harus berangkat ke sekolah dengan perut kosong dan saku kering. Aya sering kesal saat harus di beda-bedakan oleh orang tuanya jika dia nakal. Pernah dia menggondok karna Ayahnya berkata, “Apasih yang nggak kami berikan buat kamu? Minta ini dibelikan, minta itu di belikan. Lihat Khusnul, tidak pernah di belikan apapun. Dia nggak neko-neko kayak kamu.” Saat itu Aya minta di belikan boneka yang bisa njoget. Alhasil andalannya sakit panas. Meskipun begitu, dimana ada Aya disitu Khusnul selalu membuntuti. Angin pagi mengusap keringat dua gadis yang baru selesai menghabiskan nasinya. Beberapa anak mulai datang. Dua anak itu duduk-duduk di meja kosong samping jalan sambil mengeringkan keringat mereka. Aya dan Khusnul sudah memasuki tahun ke enam di sekolah itu. Kalau tidak, mana berani dia mau cangkrukan disitu. “Hey, In!” teriak Aya. Anak jangkung berkulit sawo matang dengan anting-anting panjang sebahu itu mendekatinya. “Apa?” “Gimana tumbuhannya? Sudah muncul tunasnya belum?” Tanya Aya. “Belum. Padahal sudah aku siram dan aku pupuki. Gantian, kamu yang mbawa. Nanti ambil ke rumahku.” “Iya, iya.” Gerutu Alya. “Mbak In, kemarin kemana? Aku lihat sampean ke perempatan.” Tanya Khusnul. “Yaiyalah… mejeng gitu. Sudah ah, mau masuk nih.” Iin berjalan dan menghilang di tangga. “Hei Tul, Pentul. Ngapain kamu manggil dia dengan sebutan ‘mbak’? masih tua kamu kan?”bisik Aya. “Biarin, dari pada sampean? Manggil aku tal-tul tal-tul. Aku kan juga lebih tua dari sampean Dek Ya.” Cerocos Khusnul. “Ye…” eceh Aya. Seorang murid lewat di depan mereka. Aya terpana sesaat. Zami yang baru datang itu tampak tenang tidak menyapa mereka. Dia sekelas dengan Aya. Mulai dari kelas 2 SD Aya menaruh rasa suka kepada Zami, anak yang sangat pendiam tapi pintar itu. Tampilannya selalu rapi dan sangat bijaksana. Wajahnya seperti Ben Jo pemain film di Dealova. Hatinya berbunga-bunga. Karna kediaman dan sering di ganggu oleh Andik cs, kegantengannya tidak terlihat. “Dek Ya, Dek Ya!!!” teriak Khusnul melihat tatapan Aya menerawang. “Apaan sih?” Aya sewot. “Halimah tuh…” tuding Khusnul ke jalan raya. Rasa tidak suka menjalar langsung ke tubuh Aya secara spontan. Di samping Halimah dan gengnya (Aya termasuk) itu anak yang paling ditakuti dikelas, dia juga mengincar Zami untuk jadi pacarnya. Anak yang selalu mentang-mentang dan ringan tangan meskipun dengan laki-laki. Geng mereka hobi ngelabrakan ke kelas sebelah, apalagi ke adik kelas. Jadi, Aya nggak mau ambil resiko untuk menembak Zami. Mau di labrak mbak… sejurus kemudian Aya dan Khusnul lari menuju kelas. “Ya, Aya!!!” terlambat. Halimah sudah memanggilnya. Mampus!!! Dari dulu Aya memang tidak ingin mengobrol dengan Halimah bahkan bisa di katakan menghindar, meskipun Aya selalu menghabiskan waktu istirahat bersama gengnya. Agak menyebalkan! “Aku tinggal dulu!” teriak Khusnul dengan terus berlalu. Khusnul tahu semua dan dia lega tidak sekelas lagi dengan Aya semenjak naik kelas enam. “Good luck!” ejek Khusnul dari lantai atas. Aya dongkol setengah mati. Sebuah tangan mendarat keras di punggungnya. Halimah menepuk Aya. Lebih tepatnya menaboknya. “Tungguin aku!” teriak Halimah. Huh! Bukan impian Aya berjalan bersama dengan si pembuat onar. Bel masuk berbunyi. Saat pelajaran PPKN, PR tugas kelompok di kumpulkan dan Pak Abdullah meminta setiap kelompok maju ke depan kelas saat pengoreksian. Bibir Aya tambah maju lima senti. Bagaimana bisa Pak Abdullah tepat memilih anak-anak yang kebetulan geng Halimah. Aya, Halimah, Iin, Ita, dan Ifa. Alhasil selama ini yang mengerjakan hanya Ita dan Aya. Yang lainnya pada ngobrol sendiri. Saat kelompok Nur Anisah, teman akrab Aya maju ke depan, Aya iri setengah mati. Zami ada di dalam kelompok Nur Anisah. Kelompok Nur Anisah pintar-pintar. Apalagi Zami, dia sudah berapa kali menjadi bintang kelas dan Aya… selalu di peringkat tiga setelah Ita. mata Aya tidak pernah teralihkan dari Zami. Pangerannya tetap diam dan sesekali menjelaskan. Aya tergila-gila pada Zami. Lamunannya bubar saat dengan tidak sengaja Ifa menyenggol lengannya dengan keras. Kontan Aya mengaduh keras. “Atoh… sakit tau!!!” “Eh, sorry-sorry.” Ifa meminta maaf. “Huh…” kesal Aya dan langsung menyambung lamunannya tentang Zami.

Saat istirahat, Aya memilih untuk bercerita dengan Elan dan Nur Anisah tentang film yang di lihatnya kemarin. Dia sengaja untuk menghindari dari gengnya. “Nur, aku mau cerita sesuatu tapi, jangan bilang siapa-siapa ya?” bisik Aya saat Elan meninggalkan mereka. “Iya, apa?” “E… aku sudah nggak betah ni gabung dengan kelompoknya Hal…” ucapan Aya terputus saat pandangannya menyapu ruangan. Zami, dia baru saja membeli makanan dan membawanya ke kelas. Cukup lama Aya memandangnya. “Ngapain kamu ngeliatin Zami? Kamu suka ya?” tebak Nur Anisah. “Hayo… Aya suka Zami.” Godaan Nur Anisah cukup keras sehingga membuat Aya membungkamnya erat. “Sialan kamu Nur, jangan nyebarin gossip kamu!” marah Aya agar tidak ketahuan. Nur Anisah tertawa kekeh. “Ya… Sini!” teriak Iin dari jendela. Semua menoleh kepada Aya termasuk Zami. Dag, dig, dug, gemuruh hati Aya sekarang. Tapi, secepat kilat kedongkolan menguasainya. Aya beranjak, “Katanya mau ngomongin sesuatu?” Tanya Nur Anisah. “Nggak jadi.” Sewot Aya dan meninggalkannya. Aya menyusuri koridor dan Ifa langsung menyeretnya. “Kamu di sini saja. Kita kumpul bareng.” Marahnya. “Zami itu belagunya minta ampun. Tadi pagi di suruh nungguin nggak mau, padahal aku kan cinta mati ma dia?” cerocos Halimah. “Gara-gara ngomongin Zami, aku jadi keingetan kalau anak kelas tiga ada yang menaksir Zami. Della namanya.” Adu Iin. “Wah, nggak bisa di diemin nih, lama-lama dia pasti ngelunjak.mending kita serbu dulu. Gimana nanti kalau pulang sekolah, kita cegat dia.” Usul Halimah. “Emang kamu tahu dari mana kalau Della suka Zami?” Tanya Aya. “Ya ada deh, dari nara sumber.” Jawab Iin enteng. “Gimana? Setuju nggak?”Tanya Halimah berapi-api. “setuju!” koor mereka. “Aku nggak ikut ya? Ibuku nanti marah aku nggak langsung pulang.” Sela Aya. “Alasan! Nggak kompak. Kamu selalu seperti itu, Ya.” Marah Halimah. “Bukan begitu, kamu tahukan ibuku seperti apa?” Aya mencari alasan. “Terserah kamu!”

Selesai istirahat, mereka kembali ke kelas dengan menyelundupkan es yang di bawanya ke dalam. “Mbak Aya, tunggu!” seorang berlari menuju Aya. Aya terdiam, dia tidak tahu siapa gadis yang ada di depannya. Dengan malu-malu gadis itu menyodorkan kertas. “Mbak, aku minta tolong untuk mmberikannya ke Mas Zami.” Hah!!! Aya kaget setengah mati. “Jangan-jangan kamu yang namanya Della ya?” kaget Aya. “Iya Mbak.” Gadis berkuncir dua itu menyengir malu. Pipinya yang nyempluk kemerah-merahan. “Sudah ya Mbak. Terima kasih.” Dia pergi begitu saja. Tangan Aya bergemetar menerima surat itu. setelah duduk, Aya membaca suratnya. Rasa cemburu dan marah menyatu. ‘Kubuang ah, enak saja dia mau nembak Zami’ gerutu Aya. Saat melihat Halimah, dia terdiam. ‘Aku tidak beda dong dengan Halimah. Tapi, kalau kuberikan nanti aku…’ Aya berdiri dan berjalan menuju bangku Zami. Zami sedang menulis tugas yang di berikan Bu Mulik sebelum istirahat. Aya gupuh sendiri, tidak pernah dia berbicara dengan Zami semenjak kelas empat. “Zam…” sapa Aya lirih. Zami menoleh. Oh, tidak! Zami menatapnya heran. Aya berkeringat hebat. “Ada yang nitip surat, nih…” setelah menyerahkan, Aya langsung kabur. Alhasil setelah jam terakhir, Zami menghampiri mejanya. “Dari siapa?” wajah Aya merah padam. “Dari Della anak kelas tiga.” “Oh…” Zami meninggalkannya. “Eh, Zam.” Panggil Aya cepat. Zami menoleh. “Apa?” “Oh, enggak…”

Istirahat siang Aya kembali mati kaku, Zami menyerahkan amplop balasan. “Wih, cepet amat!!! Boleh kulihat nih?” goda Aya basi. “Eh, jangan dong! Itu kan rahasia. Jangan sekali-kali di buka ya… awas kamu!!!” ancam Zami. “Ah, lihat sebentar doang!” Aya berlari dan Zami menariknya. “Resek kamu! Mana suratnya akan kuberikan sendiri!” marah Zami. “Maaf, maaf… Cuma canda, nggak akan aku buka kok.” “Janji ya…” setelah kejadian itu, Aya di interogasi habis-habisan oleh gengnya. Aya berkelit, takut Halimah tambah ngamuk dan bisa-bisa dia akan jadi musuh dan di kerjai habis-habisan. Aya mulai resah memikirkan jawaban Zami. Apakah Zami menerimanya atau tidak. Jika tidak, itu mustahil… Della cantik dan gemesin beda dengannya yang ngebosenin. Tapi kalau di terima, tidak mungkin. Anak pintar seperti Zami mana boleh dia pacaran? Mau di hajar sama ibunya ya? Aya pusing. Huh! Masih bau kencur juga…

Menjelang EBTANAS, kelas Aya menjadi ramai. Belajar kelompok mulai di terapkan. Zami satu kelompok dengan Aya. Tapi sayang, mereka sama sekali tidak pernah bertegur sapa. Zami yang pendiam dan hanya mau bergaul dengan anak-anak cowok itu sepertinya tidak pernah merasakan tatapan aneh Aya. Hati Aya hanya sekali berdesir, itupun karna tidak sengaja Zami mengambilkan pensil Aya yang jatuh. Perjuangan Aya mulai berat saat kelas sebelah di campur dengan kelasnya. Banyak saingan nilai dari kelas sebelah dan hasilnya Syafa’ teman TK Aya duduk di peringkat atas dan disusul oleh Zami dan Ita. sedang Aya… ada di peringkat lima. Hari-hari setelah ujian adalah bebas. Saatnya anak lulusan SD mendaftarkan diri ke SMP favoritnya. Mereka semua mengikuti UKM. Ujian yang akan menentukan para murid seSurabaya masuk ke tiga sekolah favorit. SMP 35, SMP 17 dan yang terakhir SMP 23. Aya dan Khusnul mengikuti ujian yang diadakan di SMP 17 itu. hasilnya, meski Aya lulus untuk masuk ke SMP 23, Aya harus mengikuti perintah orang tuanya. Menyantrikannya ke sebuah pesantren milik teman sengajian Ayahnya. Zami… tentu saja dia diterima, tapi Aya tidak mau tahu dimana dia akan bersekolah. Untuk ucapan perpipasahan, atas dukungan Nur Anisah, Aya menekatkan diri untuk menaruh surat yang berisi gambaran hatinya selama ini di loker Zami. Setelah itu, Aya tak pernah mendengar lagi berita tentang Zami dan teman-temannya hingga saat ini.

*****

Suara adzan subuh saling bersahutan, dengan kaget Aya terbangun dari tidurnya. Mimpi masa kecilnya terekam kembali. Astaghfirullah… ini mimpi baik apa buruk ya? Masih dengan pikiran tentang Zami dan sedikit mengusir kantuk, Aya memakai mukena dan menuju ke musollah. Kehidupan Aya benar-benar baru. Setelah lulus dari SD, dia menimba ilmu di sebuah pesantren milik teman Ayahnya. Dia mulai mendapatkan pelajaran baru tentang agama, tatakrama dan kekeluargaan. Teman sepesantren sudah seperti keluarganya sendiri. Apalagi teman sekelas Aya, rukun dan saling memiliki tanpa harus ada yang membuat golongan sendiri. Syafiruna Fillah nama markhalah Aya. Markhalah yang tekenal paling di takuti dan di sukai. Bagaimana tidak, teman-teman Aya termasuk dia sendiri selalu bisa diajak untuk berorganisasi dan ramai. Tapi jika sudah marah, siapa yang mau dekat-dekat dengan kelompok singa yang kelaparan… kemarin malam Aya sempat mengobrol dengan Mia anak kelas empat TMI, anak yang sekonsulat dengan Aya. Ternyata Mia saudara Syafa’ dan Zami. Zami… nama itu kembali terngiang dan rasa yang aneh kembali terasa. Dengan jujur Aya memberi tahu apa yang terjadi saat dia SD. Mia juga kenal dengan namanya Halimah, si biang kerok di SD. “Aku pernah ngelihat Mas Zami sedang baca buku di depan rumah, Ukhti. Trus, dia kalau ngomong selalu boso,Ukhti. Meskipun sama temannya.” Wah… rasa suka Aya kembali mengalir deras. “Aku juga pernah lihat Mas Zami berangkat ke masjid padahal masi hujan, Ukhti.” Tuturnya lagi. “Stop-stop. Kalau kamu ceritakan kebaikannya berturut-turut aku bisa meledak nih,”gerutu Aya. Terdengar jaros tidur berbunyi dan mereka bubar untuk pergi ke kamar masing-masing untuk tidur. Setelah sholat subuh berjamaah, bel ngaji berbunyi. Para santri bergegas mengganti mukena dengan baju muslimah dan berangkat ke pesantren pusat untuk mengikuti pengajian rutin yang di isi oleh Kyai Shodiq, pengasuh pondok sendiri. Beliau biasanya membahas tuntas tentang ilmu tasawwuf dan sering memberikan amalan-amalan yang bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari. Kitab Bidayatul Hidayah yang selalu beliau kupas pokok-pokok isinya. Beliau pun juga tak segan-segan mengajak para santri untuk guyon di tengah acara jika di antara santri sudah banyak yang menelungkup karna mengantuk. Beliau sosok Kyai yang tawadlu’ dan dermawan. Karna sifat beliau yang selalu menghormati orang lain, tak jarang beliau selalu di kunjungi oleh para habib-habib yang sudah tersohor ilmunya. Bahkan, tak jarang juga para santri di perintahkan oleh Kyai langsung untuk tandiful A’mmi karna akan kedatangan guru-guru besar Kyai. Pengajian berlangsung selama satu setengah jam, setelah itu para santri di berikan waktu dua jam untuk mandi dan sarapan pagi. Tepat pukul tujuh kurang sepuluh menit para santri sudah harus sampai di sekolah pesantren. Tapi, dimana Aya?

Di pondok, para mudabbiroh sudah mulai berangkat satu persatu. Sang Qismul Amni mulai meneriaki santri-santri yang terlambat. “Khayya, man fi fauq? Ana akhsab khatta khomsah. WAHID…” terdengar suara gaduh di sebuah kamar. “Ya Ilahi… belum juga ngapa-ngapain? Nih, seterika lama sekali panasnya.” Aya mengerutu panjang. Jubah seragamnya baru saja dia ambil dari jemuran. “ISNAINI!!!” teriak kencang Qismul Amni. “El, sa’idini siapkan buku-bukuku yach.” Seru Aya sambil terus menyetrika. “Enak banget, aku juga punya kesibukan sendiri, Ya.” Tolak Elisa teman sekamar Aya yang sedari tadi membenahi Khimarnya. “Please, bantu sedikit napa? Aku nggak ada waktu nih.” Rayu Aya. Elisa menuju lemari Aya. “Ekonomi kamu mana?” “Mungkin di laci… cari sendiri ya.” Teriak Aya. “Kamu yang telat kok meski aku yang repot…” sungut Elisa. Aya terkekeh. “TSALASAH!!!” Aya melihat ke arah jam. Pantesan, sudah jam tujuh kurang lima. “Aya!!! Bissur’ah, aku tinggal nich,” Elisa sudah ancang-ancang di depan pintu. “Sebentar.” Aya menarik kabel seterika dengan kaki dan berlari ke depan lemari untuk mengganti bajunya. “Aku tunggu di bawah!” teriak Elisa dari tangga. Dasar, nggak setia kawan banget sich, jadi orang!!! “ARBA’!!!” Aya menuruni tangga dengan santai. Hukuman sudah ada di depan mata meski dia berpeluh-peluh turun dengan keringat bercucuran karna tergesa-tergesa. Apalagi dia anti keringat. “Tob’an Aya.” Hafal Qismul Amni yang tak lain adalah kakak kelas yang paling dekat dengan Aya. Aya tunduk merasa bersalah. “Ukhti Ziah, afwan…” satu jeweran di rasakan lagi oleh Aya. Elisa sudah melototi Aya di depan. Aya setengah berlari menyusul. “Gara-gara kamu, aku sampai kena jeweran dari kakak kamu…” semprot Elisa. Aya hanya diam memaklumi. Gawat kalau dia sampai bercerita jeweran Ukhti Ziah tidak berasa sama sekali di telinganya. Nanti dikira pilih kasih he… tentang Ukhti Ziah, dia yang pertama kali bertemu dengan Aya waktu pecan perkenalan. Ukhti Ziah yang menerangkan bagaimana system pelajaran dan menunjukkan selak beluk pondok ini. Selain cantik dan tinggi, sifatnya yang baik dan penuh dengan ide brilian membuat Aya kagum dan ingin lebih dekat. Begitu sempurnanya Allah menciptakan makhluk. Kedekatan Aya di salah artikan oleh sebagian santri. Mereka di kira menjalin sebuah persaudaraan yang bisa di sebut Mitun (meeting ukhtun). Namanya Ukhti Ziah, smakin di ‘gojloki’ malah semakin memamerkan kebersamaannya dengan Aya. Karna Ukhti Ziah sangat terkenal di kalangan pesantren baik putra maupun putri, tak jarang banyak yang mengaguminya. Tapi akhir-akhir ini Aya merasa aneh saat melihat Ukhti Ziah saat sedang bertugas maupun tidak. Ingin bertanya tapi takut mengganggu privasi dan tugasnya.

Pada jam pelajaran ke tiga, kelas Aya mendadak sepi karna tak berustadz. ironisnya kelas sudah di sulap menjadi pasar yang sedang berjualan pindang. Beberapa santri tidur di bawah bangku dengan rapi yang selalu siap untuk di ekspor ke luar negri. Aya sedang ikut kumpul rutin dengan beberapa teman-temannya. Depan bangku Aya, satu deret serius membaca Koran pinjaman sari kantor. Siapa lagi kalau bukan Ulum gadis keturunan Medan dengan gayanya yang ceplas-ceplos yang memang hanya dia yang bisa berhasil meminjamnya meski tak pernah kembali. “Ya, kamu nggak mau ke lab yuk, borring nich?” ajak Lifa teman sebangku Aya. “Nggak mau, nanti di usir lagi seperti kemarin.” Ketus Aya. Marisa dan Jauh baru kembali dari kamar mandi. “Di lab ada orang nggak?” Tanya Lifa. “Ada anak kelas Empat.” Jawab Jauh. “Waktunya?” Tanya Aya bergantian. “Nggak. Jadwal mereka kan hari sabtu. Yuk…” Lifa menyeret Aya. Aya cemberut sekembali dari lab. “Kenapa?” Tanya Hanim mengejek. “Ada Satpol PP lagi razia.” Ketus Aya. “Beruntung dong kamu bisa kabur.” Ridho ngakak. “Nggak lucu!!!” teriak Aya. “Ke makam yuk, ngisis…” beberapa anak yang tidur di bangunkan berpindah tempat ke pesarean yang selalu berhawa sejuk meski di siang hari. Angin yang berhembus dari sawah belakang di tambah dinginnya lantai marmer membuat Aya dan teman-temannya bergulung-gulung merajut mimpi. Sebelum jam pelajaran berakhir beberapa teman yang sedari tadi mengobrol membangunkan mereka satu-persatu. “Woi, bangun… mau pulang rek…” teriak Nana yang hobbinya membanggakan kota asalnya, Rungkut. Selesai sholat ashar dan membaca ar-Rohman, santri di beri waktu istirahat yang cukup lama sampai jam lima. Aya memilih untuk duduk rileks di depan syirkah sambil menunggu antri mandi. Seseorang menepuk pundak Aya. “Hei…” sapa Ukhti Ziah. “Assalamualaikum, Ukhti.” Sapa Aya girang. Ini saatnya untuk menanyakan keadaannya. “Waalaikum salam.” Ukhti Ziah tersenyum. “Antum kenapa kok selama ini aku perhatikan, agak kusut.” “Ada masalah keluaga.” Jawabnya pendek. “Oh…”Aya tak berani bertanya macam-macam jika sudah begini. Ukhti Ziah membisiki Aya. “Sebentar lagi aku akan di nikahkan.” “Hah!!! Kok bisa? Kan antum masih sekolah?” “Besok, sehabis khataman.” Wajah Ukhti Ziah semakin redup. “Ya Allah, Ukhti… tapi kan antum masih muda. Kok bisa sih?” Aya semakin tidak percaya. “Ya bisa lah Aya, apa sih yang mustahil di dunia ini?” kata Ukhti Ziah kecut. “Ta… tapi kan antum pingin kuliah? Masa depan antum masih panjang.” “Emang kalau nikah nggak punya masa depan apa?” “He…” tawa Aya garing. “Pilihan Antum?” Ukhti Zia menggeleng. “Sudah pernah di bicarakan dengan Ummukum?” “Setiap kali aku telpon, Ya.” “antum kan bisa menolaknya.” Usul Aya. “Berkali-kali. Sampai akhirnya Ibuku mengatakan jika aku tidak manut, Ibu akan menyumpahi hidupku tidak akan pernah tenang.” “Astaghfirullah… segitunya. Lalu Ukhti Ziah sendiri bagaimana?” air mata Ukhti Ziah mengalir. “Apalagi kalau tidak menurutinya. Kamu mau aku jadi anak durhaka dan di sumpahi seumur hidup?” mereka terdiam. “Sabar ya, Ukhti.” “Ngomong sih enak, Ya.” Nada Ukhti Ziah mulai ketus. “Lha, kakak setuju nggak?” Tanya Aya lirih. “Gimana lagi?” air matanya kembali menetes. “Ukhti…” Aya memandang iba. “Bagaimanapun ini pernikahan. Kalau Ukhti nggak siap, apa jadinya nanti?” “Nggak tau lah, Ya. Kalau terjadi sesuatu di jalan perrtama kali yang aku salahkan adalah orang-orang yang menekanku.” Tutur Ukhti Ziah putus asa. “Ukhti mau menikah di landasi tekanan?”

Saat qiroah bil ghina, yaitu kegiatan rutin setelah sholat maghrib, Aya tidak melihat Ukhti Ziah sama sekali. Aya bertanya ke Ukhti Muhim sang Qismut Ta’lim dan jawabannya Ukhti Ziah sedang tidak enak badan. Kasihan Ukhti Ziah, batinnya tertekan… Aya memang tidak bisa dapat membantu banyak tetapi untuk dijadikan teman curhat, Aya sangat mengajukan diri. Aya berharap Ukhti Ziah mau menjadikan dirinya teman unuk berbagi kisah meski memang Aya tidak mempunyai pengalaman yang memadai tentang pernikahan. Sebaliknya. Ukhti Ziah sering kabur dari pondok karna paksaan orang tua. Alhasil di khataman kelulusan Ukhti Ziah, dia tidak datang dan menikah. Nama Ukhti Ziah berubah menjadi jelek dikalangan pondok. Aya heran, mengapa system labeling itu masih saja diberlakukan. Perbuatan Ukhti Ziah tidak setimpal jika dibandingkan dengan merusak nama baik dipondok. Aya benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa membantah jika ada seseorang yang mengatakan keburukan Ukhti Ziah, dan jelas orang yang membebekan kejelekan Ukhi Ziah itu akan berkata “Yo jelas anti mbela Ziah. Wong dia mbakmu!!!” Aya hanya bisa menghela napas. Begini nih kalo ngomong sama manusia yang sudah dilanda kebencian. Aya semakin kasihan kepada Ukhti Ziah yang dijadikan bahan pembicaran sampai sekang. Dimana kebaikan Ukhti Ziah yang selama ini diperuntukkan untuk pondok? Pengorbanan-pengorbanannya? Pada saat acara walimah, yang brtepatan dengan hari pindah kamar dipondoknya, diam-diam Aya dan Lilis kabur dari pondok dan berpesan kepada teman sekelas untuk memindahkan lemarinya. Aya mengunjungi Ukhti Ziah. Sebuah kado dan surat dia berikan kepadanya.

Dear Ukhti Ziah
Maafkan aku karna tidak bisa menepati janji, maafkan aku karna tidak bisa hadir diacara resepsi yang paling penting bagimu. Aku menyesal, menyesal kana tidaak bisa mengucapkan selamat atas kebahagiaanmu. Mengingat dirimu yang menghilang tiba-tiba, tidak berpamitan kepadaku dan menhubungiku sama sekali.
Ukhi Ziah,
Begitu teganya aku membiarkanmu dalam masalah yang berat sedangkan aku tidak membantumu sama sekali. Padahal dirimu adalah orang yang sangat berarti dalam hidupku. Ingatkah dirimu saat aku masih pertama menjadi santri? Dirimulah yang selalu membimbingku dan memberikan curahan kasih sayang. Kau dan sifatmu yang penyayang membuatku begitu ingin sekali selalu didekatmu. Sikapmu yang slalu ingin melindungi orang lain membuatku sadar bahwa banyak orang-orang yag membutuhkan perlindungan. Sifatmu yang begitu semangat mensupportku untuk meraih cita-cita kini telah menuai hasil. Yach, meski tak jarang dirimu juga berusaha mencarikan pacar untukku.
Ukhti Ziah,
Segala sesuatu yang telah terjadi pasti mempunyai makna dan hikmah yang terkandung didalamnya. Jangan pernah merasa ini adalah cobaan. Sebaliknya, sadarkanlah diri Ukhti bahwa ini adalah anugrah. Seperti yang kubilang, setiap alumni yang mempunyai kelebihan yang begitu cantik luar dalam selalu mempunyai ‘jalam kehidupan baru’ terlebih dulu dari alumnus yang lain. Ingatkah dirimu kepada Ukhti Hidayah? Apakah kau tahu makna yang terkandung didalamnya?
Ukhti Ziah,
Allah SWT, begitu sayang kepadamu dan kepada Ukhti Hidayah. Aku sampai iri dibuatnya. Kau tahu, Allah tidak ingin hambaNya yang cantik ini ikut terjerumus dalam aliran zaman yang menyesatkan. Allah melindungimu. Allah menjagamu. Allah memperhatikanmu. Allah menjagamu dengan ikatan suciyang penuh mahligai cinta yang disulam dengan kasih dan sayang. Semua itu mmbuatku befikir keras. Apakah aku bisa masakan itu semua seperti yang telah engkau rasakan? Seperti apakah Allah akan melindungiku dari arusnya zaman?
Ukhi Ziah,
Berbahagialah orang yang telah mendapatkan dirimu. Kau bukan hanya cantik diluar, tetapi juga cantik didalam. Hatimu bagai permata yang selalu bersinar. Sifatmu yang penyayang akan membawa suamimu bertambah cinta. Otakmu yang cerdas dan penuh kreasi akan membawa rumah tanggamu mencapai kesuksesan. Tekadmu yang selalu bulat dan tak pernah putus asa akan membuat rumah tanggamu selalu dalam linangan kerahmatan yang tak pernah hilang.
Amin….
Saudari,

Liyyah az-Zahrah

Kehidupan tetap berjalan meski orang yang menyayangi Aya sudah pergi dari penglihatannya. Kegiatan berjalan seperti biasa tak ada perubahan. Kadang kala membuat Aya jenuh dan mulai terbiasa untuk mencari kegiatan baru seperti merenung memandang awan di loteng disaat pengabsenan tandiful ‘am. Berjalan keluar barisan menuju rumah teman saat sedang riyadhoh tanpa ketahuan. Tentu saja Aya tidak sendirian, bersama teman-teman sekelas yang memang sedang merasakan kejenuhan seperti Aya. Seperti saat itu. suara adzan terdengar merdu menyambut sang subuh. Menggetarkan hati bagi setiap yang mendengar. Menundukkan segala keangkuhan dan mengembalikan mereka kepada sang Kholik yang maha Pencipta. Berbondong-bondong para santri terbangun di karenakan Qismul Amni dan Qismut Ta’lim yang sedang berkeliling dengan sajadah di tangan selalu siap memberi pukulan bagi santri yang tak mau berkutik dari mimpi indahnya. Mendadak kamar mandi dan deretan kran wudlu ramai seketika. Antrian panjang membuat para santri meneruskan tidurnya sambil bersandar berdiri di depan meski hanya sebentar. Bacaan Aqidatul Awwam melantun merdu dan hampir selesai. Membuat para santri tergopoh-gopoh dan saling mengtuk pintu khamam. Banyak yang berlarian menuju Musollah berharap tidak terkena pukulan maut Qismul Amni. Tapi terlambat, puji-pujian telah selesai. Di lanjutkan dengan pengabsenan yang dilakukan Qismut-Ta’lim. Terdengar bunyi pukulan dari luar Musollah, Qismul Amni sedang memukul para santri yang terlambat dengan sajadah ‘mautnya’. Tak lama kemudian, iqomat di kumandangkan dan sholat subuh di tegakkan. Aktifitas santri saat selesai sholat sama persis dengan hari-hari sebelumnya. Para santri di wajibkan mengikuti kegiatan rutin di tengah lapangan. Yakni bermuhadatsah dan menerima beberapa mutarodifat untuk bahasa keseharian. Selesai mufrodat Aya yang terbiasa bangun pukul tiga meneruskan tidurnya kembali bersama teman sekamar hingga bel sholat dhuha berbunyi.

Bersambung,,,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar